Kakek Terbaik

Ahmad Saluri bin Kasim. Bapak dari Mamaku. Usia beliau masuk 82 tahun dan Allah menakdirkannya untuk kembali kepada-Nya pada Jum'at pekan lalu, 3 Agustus 2018. Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa fu'anhu. Beliau ini yang selanjutnya akan ku panggil Abah dalam tulisan ini.

Kala itu, aku masih kerja on site di Unilever Tangerang. Memang berencana pulang kampung hari itu karena mendengar Abah masuk RS hingga tiga kali. Juga, sekalian menjenguk kedua kakak kandungku yang baru saja melahirkan buah hatinya.

Sore menjelang petang, aku dikabarkan oleh Budeku bahwa jantung Abah kian lama kian melemah. Aku berharap bisa bertemu terakhir kalinya, namun kehendak-Nya mendahuluinya. Bude mengabari bahwa Abah telah tiada dan aku hanya bisa menangis. Qadarullah pada saat itu di ruangan hanya tinggal aku saja, yang lain sudah pulang sekian jam yang lalu. Aku sengaja menunggu maghrib untuk sholat maghrib terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan naik bis merak.

Ya, bahwa apa yang terjadi merupakan takdir yang telah di tentukan oleh-Nya sejak ruh ditiupkan. Tugas kita adalah mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi. Ku mencoba mengingat sejarah, sesedih-sedihnya Rasulullah itu terdengar dari sesenggukannya. Tidak meraung-raung, tidak berteriak, tidak meratapi.

Mataku merah sebab tangisan. Mencoba tegar lalu beranjak ke mushola dan bersiap pulang. Orang-orang yang melewatiku sekilas memperhatikan. Air mata ternyata masih terus berjatuhan bahkan dalam sholat. Ku coba istighfar sedalam-dalamnya.

Beliau, kakek yang bukan sekedar kakek bagiku. Terlalu banyak kenangan bersama dan bagiku ia kakek satu-satunya yang pernah ku kenal dalam hidupku, karena Bapak dari Papaku sudah lebih dulu meninggal sebelum ku mengenalnya.

Aku pernah dititipkan kepada kakek dan nenek oleh orangtuaku dari usia 10 bulan hingga usia 2 tahun. Berdasar penuturan mama, karena nenek ingin mengasuhku, juga karena mama kewalahan mengurus 3 anaknya, jadi nenek membantu meringankan dengan mengasuh aku.

Saudara-saudaraku sering menyebutku anaknya kakek. Entah mungkin karena ku pernah menjalani masa kecil bersama mereka. Nenek lebih dulu meninggal. Seingatku, dulu aku selalu menginap di rumah Abah saat liburan sekolah tiba. atau mungkin semauku saja. Jarak rumahku dengan rumah Abah juga tak jauh.

Perilakuku yang berbeda dari kedua kakak kandungku, sering membuatku dilempari amarah dari orangtuaku. Kenakalanku bisa dibilang ekstrem dan membuat mereka marah padaku. Tapi waktu itu aku merasa, dengan nenek kakek aku merasa diriku diterima sepenuhnya.

Jadi aku sering pergi ke rumah Abah, walaupun rumahnya masih beralas tanah dan berdinding anyaman kayu, aku merasa senang-senang saja. Semua kegiatan bersama Abah seperti sarapan dengan singkong rebus, mandi di sungai, minum air tebu, mencari sumber air, cari makanan sapi, minum kopi, seduh mie langsung di plastik, keliling naik gerobak dan Abah yang dorong, dan kenangan lainnya yang seolah masih terpampang nyata di hadapanku.

Semakin besar, semakin ku sadar. bahwa kakek terus menua. Sebelumnya ia tak pernah mengeluh berjalan kaki mendorong gerobak. Namun karena kondisinya tak sekuat dulu, ia akhirnya menggunakan sepeda. ia melakukan itu untuk menjual sayur/arang atau apapun yang bisa dijual untuk mencari nafkah untuk keluarganya karena kakek menikah lagi setelah nenek meninggal dan bertambah 4 anaknya. Lalu, semakin tak kuat kakinya, ia tak lagi berjualan keliling. Ia hanya sesekali mampir ke rumah anak-anaknya untuk sekedar menghapus rindu. Hingga akhirnya Allah beri ujian, matanya tak lagi sehat, ia tak lagi bisa melihat dengan jelas. sehingga harus berdiam diri di rumah.

Beberapa kali dicoba untuk operasi tapi tidak di izinkan dokter karena beliau memiliki penyakit ashma. Setiap ku datang menjenguk, ia selalu mengatakan penglihatannya tak lagi jelas, ashmanya sering kambuh. ku hanya bisa menjenguk sebisa yang ku lakukan karena aku berada di perantauan.

Beliau biasanya tahu kalau aku sedang pulkam, pernah suatu ketika aku sudah pulkam tapi aku tak langsung kesana. Tante kemudian wa, "Dilah, Abah nyariin. katanya Dilah ga main ke rumah Abah padahal dah di Lampung"

Keesokan harinya ku langsung menengok beliau dengan membawa masakan mama.
"Abaaaah, dilah datang" sapaku
dan tak ku duga, beliau memelukku cukup lama. mataku berkaca-kaca. seolah ia mengatakan ia rindu pada cucunya ini.

Sejak saat itu aku coba untuk berkunjung lebih awal setelah sampai Lampung. Tapi kini ia telah tiada. Jasadnya telah terkubur tanah, ruhnya berada di alam barzakh. Semoga Allah merahmatimu. Tak lagi bisa ku jenguk di lusuhnya kamarmu, dengan kerentaan dirimu. Aku sekarang bisa menjengukmu kapanpun, dalam Doa. Ya, dalam Do'a.

Semoga Allah menerima iman dan islammu, Abah. Di lapangkan kuburnya. Dijadikan kuburnya sebagai taman-taman surga. Sampaikan salamku pada emak (nenek). Semoga kelak kita berkumpul di Surga karena keridhoan-Nya. Aamiin.




Comments

Popular posts from this blog

Kolam Renang Khusus Wanita di Bogor