Usus Buntu Part 7
Kira2 lebar ruangan itu, 6x7m. 2 dinding di jadikan pintu. Diujung kiri, alat2 operasi. Di tengahnya kasur operasi, tepat disampingnya berdiri lampu operasi yang memiliki 4 lampu namun jadi satu. Ada mesin pendetak jantung (seperti yang ada di film-film) yang letaknya sejajar dengan kepalaku. Para perawat terlihat sibuk. Ada yang mengganti tabung infus, ada yang membersihkan alat2 operasi, ada juga 1 perawat yang mengajakku ngobrol. Mungkin posisi dia sebagai penghibur pasien.
“mbak, ga makan berapa jam?” Tanya salah satu perawat
“udah 12 jam mbak. saya laper” jawabku
“oh gitu, yaudah kita banyakkin infusnya ya untuk nambahin cairan tubuh” jawab si perawat.
Jantung berdetak lebih cepat dan tanganku sudah dingin sekali, padahal operasi belum di mulai. Deg2an bahasa kitanya mah.
“duduk ya mb, sebentar aja kok” ada suara dari belakang, perawat.
“ngapain mba?” tanyaku
“kita mau pasang obat bius.” ucap si perawat.
Tidak lama kemudian, aku dibaringkan kembali. Dalam hitungan menit, kaki sudah mati rasa, bahal. Itu rasanya dibius. Beberapa perawat menguji, apakah obat bius berjalan atau tidak dengan mencubit tangan dan kakiku.Cubitan yang dikaki tidak terasa sama sekali. Akupun mencoba menguji obat bius itu. Dengan sekuat tenaga, kuangkat kaki tapi tak ada respon, berat sekali. Satu hal menyadarkanku, kaki yang sehat yang selama ini jarang ku syukuri.
Dokter bedah datang, itu artinya operasi semakin dekat. Salah satu perawat memasangkan jepitan ke telunjuk kananku (jepitan itu penghubung kemesin detak itu). perawat lainnya memasangkan oksigen ke hidungku.
“dihirup ya mba” seru si perawat
Dokter dan semua perawat, tak terkecuali aku, berdo’a untuk kelancaran operasi. Kain biru dibentangkan di depan mataku, mungkin agar aku tak melihat proses operasinya. Bius yang disuntikkan tadi adalah bius lokal, jadi aku tetap sadar saat operasi berlangsung. Terasa ada benda asing jalan di perutku, do’aku semakin kenceng ,aku khawatir tiba2 obat bius tidak berfungsi dan… (silahkan bayangkan sendiri)
ku pejam-pejamkan mataku, ingin tidur saja rasanya. Tapi tak bisa. Perawat sepertinya menyadari kegelisahanku, ia menawarkan ingin bius tidur apa ga. Aku mengiyakan.
Namun dokter berkata, “kenapa? takut ya? harusnya jangan tidur, ini momen2 penting loh dalam hidupmu”
Kesal, sebel, campur aduk. Tiba2 gelap. aku tertidur.
Suara berisik membangunkanku. Ternyata para perawat sedang memindahkanku dari meja operasi ke kasur dorong. Rasa syukur yang tak terhingga, Alhamdulillah,operasi sudah selesai. Samar-samar kelihatannya namun semakin jelas terlihat. Aku di dorong ke samping ruangan. Menunggu kamar pasien siap, sedang dirapihkan katanya. Pada saat itu, kaki masih belum bisa digerakkan. Aku hanya diam menatap langit-langit ruangan itu. Dokter mendatangiku dan memberiku sebuah plastik berisi sesuatu berwarna putih.
“ini usus buntumu yang tadi kita potong” ucap dokter memberitahuku
“oh iya dok, terima kasih”
Ku pandangi, kalau sedikit lebih teliti akan terlihat ada benjolan2 diluarnya. Mungkin itu yang di sebut bengkak. Yang lebih seramnya lagi, masih hangat. Hanya 1 harap padaNya, yang penting sembuh.
Dari pintu terdengar ada yang masuk, ke ruangan dimana aku berada. Ternyata mama. Ia memakai baju yang sama denganku: baju operasi. Bedanya, iatetap pakai kerudung. Kemudian ia menghampiriku.
“dil, gimana sakit ga?” Tanya mama cemas
“nggak mah, ga kerasa apa2. cuma kaki dilah belum bisa gerak”jawabku
“iya itu biusnya masih nempel dil. yaudah istirahat ya. Mau pake jilbab sekarang?” tanyanya
Ia sangat mengerti perasaanku (makasih mah), dengan cepat ku anggukkan kepala. Ia keluar dan masuk dengan membawa kerudung. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menutupi auratku kembali.
beberapa perawat datang, mereka mengabari bahwa kamar sudah siap. Aku didorong menuju kamar rawat inap. Rasanya sesuatu banget, didorong begitu dan keluarga mengerubungiku. Aku ditempatkan di ruangan berisi 3 orang.Tepat ditengah, kasur milikku untuk 3 hari kedepan. Pasien2 yang berada dikamar itu sudah lanjut usia. Di samping kanan, seorang nenek yang mengidap penyakit diabetes. Kaki kirinya membiru, bengkak. Di samping kiri, seorang nenek yang belum diketahui penyakitnya.
Pada saat itu jam menunjukkan 14.30 wib. waktu dzuhur akan habis, sementara aku belum sholat dzuhur. Tiba2 aku merasa sakit yang begitu ..begitu… (tidak bisa diungkapkan dengan kata2). Mataku mulai berkaca2, menahan sakit, dan beberapa detik kemudian aku menangis sejadi2nya. Tak peduli lagi, berapa banyak orang prihatin melihatku. Mama dan papa menguatkanku dan meminta untuk dzikir sebanyak2nya. Yang ku rasa hanya sakit, sakit dan sakit. Begitu mengiris, terasa tercabik2.
“istighfar…istighfar teh..” seru orang2 disekitarku
Semakin kuat menangis, ternyata semakin sakit. Ku coba untuk mengendalikan diri, tapi air mataku terus mengalir. Mama tak kuat melihatku, ia ikut menangis.
“teh, ga ada obat penghilang sakit tah? kasihan ngeliatnya” Tanya mama pada teteh
“ga ada mah. namanya juga abis operasi, ya pasti sakit.sabar aja nanti juga hilang sakitnya. ” jawab teteh tak memberi solusi
Tapi, kemudian ia berkata, “eh, ada sih mah. Tapi di RS tempat nong kerja. Semua pasien disana dikasih itu. Nanti sebelum kerja, nong bawain kesini”
Ia pun pulang, mungkin ingin mengambil obat ‘sakti’ itu.
Ashar tiba, rasa sakit tak juga mereda. Memaksakan diri untuk tidur juga tidak bisa. Maghrib menjelang, tetehku baru datang. Ia memasangkan sesuatu di jantungku. Sebuah stiker berukuran kurang lebih 1x1cm. Awalnya sakit itu masih terasa, beberapa jam kemudian, alhamdulillah dengan izin Allah sedikit demi sedikit sakit itu hilang. Setelah masalah satu selesai,muncul kembali masalah baru. Sakit maagh kembali menyapa. Wajar, aku tidak makan seharian. Seperi orang berpuasa tapi saya ga puasa. Ingin makan dan minum, tetapi belum diizinkan.
“ususnya belum gerak bu. tunggu bentar lagi ya”. seru si perawat
beberapa kali mama memanggil perawat untuk mengecek keadaan ususku. Tapi jawabannya masih sama. Tepat pukul 08.00 p.m, perawat datang lagi kemudian ia memeriksa keadaan ususku.
“alhamdulillah, udah gerak bu. bisa makan tapi dikit2 ya.”ucapnya
akhirnya…”setelah susah, ada kemudahan, setelah susah ada kemudahan”. Itu janji Allah dalam kitabNya. Kita yang harus bersabar.
Comments
Post a Comment